Minggu, 24 April 2011

GAGAL GINJAL AKUT

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT

A. PENGERTIAN GAGAL GINJAL AKUT
Adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah (Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 )

B. KLASIFIKASI :
1. Gagal Ginjal Akut Prerenal
2. Gagal Ginjal Akut Post Renal
3. Gagal Ginjal Akut Renal

Gagal Ginjal Akut Prerenal;
Gagal ginjal akut Prerenal adalah keadaan yang paling ringan yang dengan cepat dapat reversibel, bila ferfusi ginjal segera diperbaiki. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA).

Etiologi
1.Penurunan Volume vaskular ;
a. Kehilangan darah/plasma karena perdarahan,luka bakar.
b. Kehilangan cairan ekstraselular karena muntah, diare.

2. Kenaikan kapasitas vaskular
a. sepsis
b. Blokade ganglion
c. Reaksi anafilaksis.

3. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung
a. renjatan kardiogenik
b. Payah jantung kongesti
c. Tamponade jantung
d. Distritmia
e. Emboli paru
f. Infark jantung.


Gagal Ginjal Akut Posrenal
GGA posrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi, meskipun dapat juga karena ekstravasasi

Etiologi
1. Obstruksi
a. Saluran kencing : batu, pembekuan darah, tumor, kristal dll.
b. Tubuli ginjal : Kristal, pigmen, protein (mieloma).
2. Ektravasasi.

Gagal Ginjal Akut Renal
1. GGA renal sebagai akibat penyakit ginjal primer seperti :
a. Glomerulonefritis
b. Nefrosklerosis
c. Penyakit kolagen
d. Angitis hipersensitif
e. Nefritis interstitialis akut karena obat, kimia, atau kuman.
2.Nefrosis Tubuler Akut ( NTA )
Nefropati vasomotorik akut terjadi karena iskemia ginjal sebagai kelanjutan GGA. Prerenal atau pengaruh bahan nefrotoksik.Bila iskemia ginjal sangat berat dan berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kortikol akut( NKA) dimana lesi pada umumnya difus pada seluruh korteks yang besifat reversibel.Bila lesinya tidak difus (patchy) ada kemungkinan reversibel.

Pemeriksaan Laboratorium :
1. Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
2. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
3. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
5. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
6. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
7. Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8. Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
9. PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
10. Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
11. Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
12. Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
13. Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
14. SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
15. Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
16. Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi.
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10. Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial
11. CT.Skan
12. MRI
13. EKG mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

C. PENGKAJIAN
1. Aktifitas dan istirahat :
a. gejala : Kelitihan kelemahan malaese
b. Tanda : Kelemahan otot dan kehilangan tonus.

2. Sirkulasi.
Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan).
Disritmia jantung.
Nadi lemah/halus hipotensi ortostatik(hipovalemia).
DVI, nadi kuat,Hipervolemia).
Edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum).
Pucat, kecenderungan perdarahan.

3. Eliminasi
a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi,poliuria (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir)
Disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi).
Abdomen kembung diare atau konstipasi
Riwayat HPB, batu/kalkuli
b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan.
Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).

4. Makanan/Cairan
a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi).
Mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati
Penggunaan diuretik
b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban.
Edema (Umum, bagian bawah).

5. Neurosensori
a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur.
Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”.
b. Tanda : Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa.
Kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang.

6. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri tubuh , sakit kepala
b. Tanda : Perilaku berhati-hati/distrkasi, gelisah.

7. Pernafasan
a. Gejala : nafas pendek
b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).

8. Keamanan
a. Gejala : adanya reaksi transfusi
b. Tanda : demam, sepsis(dehidrasi), ptekie atau kulit ekimosis, pruritus, kulit kering.

9. Penyuluhan/Pembelajaran:
Gejala : riwayat penyakit polikistik keluarga, nefritis herediter, batu urianrius, malignansi., riwayat terpapar toksin,(obat, racun lingkungan), Obat nefrotik penggunaan berulang Contoh : aminoglikosida, amfoterisisn, B,anestetik vasodilator, Tes diagnostik dengan media kontras radiografik, kondisi yang terjadi bersamaan tumor di saluran perkemihan, sepsis gram negatif, trauma/cedera kekerasan , perdarahan, cedra listrik, autoimunDM, gagal jantung/hati.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL :
1. Perubahan kelebihan volume cairan b/d gagal ginjal dengan kelebihan air.
2. Resiko tinggi terhadap menurunnya curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairandan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, kalsifikasi jaringan lunak.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan katabolisme protein
4. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik/pembatasan diet, anemia.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d depresi pertahanan imunologi.
6. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan berlebihan.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang mengingat.

E. RENCANA INTERVENSI
DIAGNOSA KEP. TUJUAN / KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
1. Perubahan kelebihan cairan b/d gagal ginjal dgn kelebihan air Perubahan kelebihan cairan tidakterjadi
Kriteria :
Menunjukan haluaran urine tepat
BJ.urine normal
BB stabil
Tanda vital normal
Edema tidak ada Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.
Awasi bj. Urine

Timbang BB. Tiap hari dengan alat yang sama.
Awasi nadi, Tekanan darah, suara paru.

Kaji kulit, wajah area edema evaluasi derajat edema
Auskulstasi paru dan bunyi jantung

Kolaborasi ;
Perbaiki penyebab : contohnya memperbaiki ferfusi ginjal
Awasi pemeriksaan Lab: Bun,Kreatinin, Na, K, Hb/Ht, Foto thorax
Batasi cairan sesuai dengan Indikasi



Berikan obat sesuai dengan indikasi:Diuretik,antihipertensi. Menentukan fungsi ginjal dan kebutuhan penggantian cairan.
Mengukur kemampuan ginjal mengkonsentrasikan urin.
Pengawasan status cairan tubuh

Mengetahui tachicardi,hipertensi dan edema paru dan bunyi nafas tambahan.
Mudah terjadinya edema dan mengetahui akumulasi cairan
Deteksi dini terjadinya oedema paru


Mengembalikan ke fungsi normal.

Mengkaji berlanjutnya disfungsi gagal

Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sumber ditambah prakiraan kehilangan yang tak tampak..
Untuk melebarkan lumen tubulerdari debris, meningkatkan vol. Urine adekuat, antihipertensi untuk mengatasi hipertensi sehingga menurunkan aliran darah ginjal




2. Resiko tinggi tehadap penurunan curah jantung b/d kelebihan cairan TujuanPenurunan curah jantung tidak terjadi, denga kriteria :
Mempertahankan curah jantung,
TD. Dan denyut jantung normal
Nadi ferifer kuat: sama dengan waktu pengisisn kapiler Awasi TD dan frekuensi jantung
Observasi EKG

Auskultasi bunyi jantung.
Kaji warna kulit, membran mukosa dan dasar kuku.

Selidiki kram otot, kesemutan pada jari dan kejang otot.

Pertahankan tirah baring dan dorong istirahat adekuat
Kolaborasi :
Pemeriksaan : Lab.K,Na, Ca.
Berikan tambahan oksigen
Berikan obat sesuai dengan indikasi : Inotropik(digoksin)

Nabic Deteksi dini terhadap kelebihan cairan
Respon terhadap berlanjutnya gagal ginjal
Deteksi dini untuk persiapan dialisis
Deteksi dini terhadap vasokontriksi atau anemia, sianosis yang mungkin berhubungan dgn. Gagal ginjal
Indikator hipokalemia yang dpt. mempengaruhi kontraktilitas dan fungsi jantung.
Menurunkan konsumsi oksigen/kerja jantung

Deteksi dini perubahan elektrolit darah
Memaksimalkan sediaan oksigen.
Memperbaiki curah jantung
Mengatasi Hipokalemia dan memperbaiki iritabilitas jantung.
Memperbaiki asidosis
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d katabolisme protein. Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria ;
Mempertahankan/meningktkan Berat badan,
Bebas oedema. Kaji/catat pemasukan diet

Berikan makanan sedikit dan sering
Tawarkan perawatan mulut, berikan permen karet atau penyegar mulut diantara waktu makan
Timbang berat badan setiap hari

Kolaborasi: konsul dengan ahli gizi.

Berikan tinggi kalori, rendah protein, rendah garam.


Berikan obat sesuai dengan indikasi; Fe, Ca, Vit. D, Vit Bcompleks
Anti emetic Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dari kebutuhan diet.
Meminimalkan anoreksia dan mual
Menghindari membran mukosa mulut kering dan pecah

Deteksi dini perpindahan keseimbangan cairan
Menentukan kalori individu, dan kebutuhan nutrisi
Kalori diperlukan untuk memenuhi kebut. Energi, rendah protein disesuaikan dengan fungsi ginjal yang menurun.
Mengatasi anemia, memperbaiki kadar normal serum , memudahkan absorbsi kalsium, diperlukan koenzim, pada pertumbuhan sel..
4. Kelelahan b/d penurunan produksien energi metabolik/pembatasan diet, anaemia Tujuan :
Kelelahan berkurang/hilangdengan kriteria :
Berpartisipasi pada aktivitas yang diberikan Evaluasi laporan kelelahan
Kaji kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Identifikasi faktor stress yang dapat memperberat
Rencanakan periode istirtahat adekuat
Berikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari
Tingkatkan partisipasi sesuai dengan kemampuan
Kolaborasi ; Awasi ; pemeriksaaan Elekrolit Menentukan derajat dan efek ketidakmampuan.
Membantu memilihkan intervensi
Mengatasi penyebab


Mencegah kelelahan berlebihan
Memberikan keamanan pada pasien
Membatasi frustasi..


Ketidakseimbangan mengganggu fungsi neuromuskuler
5. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan yang berlebihan. Tujuan :
Kekurangan cairan tidak terjadi, dengan kriteria ;
Intake dan out put seimbang
Turgor kulit baik.
Membran mukosa lembab, nadi ferifer teraba, elektroluit dalam batas normal.
Ukur pemasukan dan pengeluaran dengan akurat
Perhatikan tanda dan gejala dehidrasi


Berikan cairan yang diizinkan/program pengobatan

Kontrol suhu lingkungan Membantu memperkirakan kebutuhan cairan
Kehilangan caiarn dapat menyebabkan status gangguan hipovolemik
Fase diuretik dpt. berlanjut fase oliguria, waspada dehidrasi nokturnal.
Menurunkan diaforesis..
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d depresi pertahanan imunologi. Tujuan :
Resiko infeksi tidak terjadi, dengan kriteria ;tidak mengalami tanda-tanda infeksi Patuhi prosedur perawatan/tingkatkan cuci tangan yang baik.
Hindari prosedur invasif

Berikan perawatan kateter rutindan tingkatkan perawatan perianal
Dorong nafas dalam batuk dan pengubahan posisi sering. Menurunkan resiko infeksi silang


Membatasi introduksi bakteri ke dalam tubuh
Menurunkan resiko ISK asenden


Mencegah atelektasis, menurunkan resiko infeksi paru.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang mengingat. Klien dan keluraga dapat memahami, tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan, dengan kriteria:
Menunjukan perubahan prilaku, dapat berpartisipasi dalam pengobatan dan perawatan Kaji ulang proses penyakit, prognosis, dan faktor pencetus jika diketahui.
Jelaskan tingkat fungsi ginjal, setelsh episode akut berlalu.

Diskusikan dialisis ginjal bila dilakukan


Kaji ulang rencana diet


Dorong pasien dan keluarga untuk mengobservasi karakteristik urine, jumlah frekuensi dan pengeluaran
Diskusikan pembatasan aktivitas
Diskusikan penggunaan obat



Tekankan perlunya perawatan, pemeriksaan lab.

Identifikasi gejala yang memerlukan intervensi medik, contohnya peningkatan BB, oedema, letargi, perdarahan,tanda infeksi, atau gangguan mental.
Memberikan dasar pengetahuan


Pasien mungkin mengalami defek sisa yang bersifat sementara
Sebagai informasi tambahan dalam mengambil keputusan
Nutrisi adekuat perlu untuk proses penyembuhan
Perubahan dapat menunjukan gangguan fungsi ginjal


Tindakan penghematan energi.
Obat dapat menimbulkan reaksi toksik pada ginjal, perlu dilaporkan penggunaan obat oleh pasien.
Menghindari kekambuhan/komplikasi
Upaya dalam mencegah komplikasi.

ANALISA DATA
Nama Klien : Tn. A
Ruang : Bedah F.
DATA KEMUNGKINAN PENYEBAB MASALAH
S.: Klien mengeluh badan lemas, mual-mual, nafsu makan menururn
O.: Hb, 7,7mg/dl. ARF

Penurunan fungsi glomerolus

Pembentukan eritropoetin berkurang

Hb. Berkurang
Ureum dan kreatinin meningkat

Mual-mual, kurang nafsu makan

Resiko terjadi gangguan transport oksigen Resiko terjadi gangguan transport oksigen
S. Klien mengeluh sering cegukan
O.:Intake 2700 CC. Output 3300 CC urea N:13,3 mg/dl, Kreatinin:0,97 K;31,Na..: 141 Cl.: 111 ARF

Penurunan Fungsi Glomerolus

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Intake dan out put tidak seimbang

Kekurangan cairan
Kekurangan cairan
S. Nyeri pada tempat pemasangan PNS tidak, bengkak tidak, keluar cairan exudat.tidak.riwayat Hidro Nephrosis Berat
O.: Terpasang PNS kiri dan kanan Tindakan injury pada jaringan kulit sampai ginjakl Resiko infeksi.


Diagnosa Keperawatan Dan Prioritas Diagnosa
1. Kekurang cairan b/d intake dan out put tidak seimbang
2. Resiko gangguan transport oksigen b/d Hb. Berkurang
3.Resiko terjadi infeksi b/d tindakan injury pada jaringan kulit sampai ginjal

PERENCANAAN KEPERAWATAN
Nama Klien :
Ruang : Bedah F
DIAGNOSA TUJUAN-KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
1. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan yang berlebihan. Tujuan :
Kekurangan cairan tidak terjadi, dengan kriteria ;
Intake dan out put seimbang
Turgor kulit baik.
Membran mukosa lembab, nadi ferifer teraba, elektroluit dalam batas normal. Ukur pemasukan dan pengeluaran dengan akurat
Perhatikan tanda dan gejala dehidrasi

Berikan cairan yang diizinkan/program pengobatan

Kontrol suhu lingkungan Membantu memperkirakan kebutuhan cairan
Kehilangan caiarn dapat menyebabkan status gangguan hipovolemik
Fase diuretik dpt. berlanjut fase oliguria, waspada dehidrasi nokturnal.
Menurunkan diaforesis..
Resiko gangguan transport oksigen b/d Hb. Kurang Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan ,klien dapat menunjukan peningkatan Hb.
Dengan kriteria :
Hb. Meningkat, mual muntah berkurang, nafsu makan bertambah Jelaskan penyebab badan lemas, tidak nafsu makan, mual-mual.


Berikan Transfusi s/d program pengobatan

1) Istirahatkan klien

Berikan diet s/d program( TKRP)

Observasi vital sign dan daerah akral
Kolaborasi :
Berikan Anti mual sebelum makan Dengan penjelasan klien dapat memahami sehingga dapat berkoordinasi dalam tindakankeperawatan/terapi.
Meningkatkan Hb.meningktan transport oksigen
Membatasi kebutuhasn oksigenasi jaringan.
Menyesuaikan dengan fungsi ginjal yang terganggu
Deteksi dini gangguan transport oksigen daerah ferifer
Mengatasi gangguan , meningkatkan nafsu makan, memperbaiki kondisi.
Resiko terjadi infeksi b/d tindakan pemasangan PNS.kiri dan kanan Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :daerah pemasangan PNS. Tidak bengkak, tidak merah, tidak keluar cairan exudat, tidak nyeri. Rawat luka daerah pemasangan PNS setiap hari, dengan memperhatikan sterilitas.
Observasi tanda-tanda infeksi pada daerah pemasangan PNS.
Berikan obat antibiotika s/d program pengobatan. Membatasi/menghindari terjadinmya infeksi



Deteksi dini terhadap tansda-tanda infeksi

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama Klien : Tn. A
Ruang : Bedah F
NO. DX. TANGGAL/
HARI/JAM IMPLEMENTASI PERAWAT


3

3

1

2
3

2 Senin,

09.00



10.00

11.00
12.00

12.15 Melakukan pengkajian
Melakukan pemeriksaan fisik
Melakukan perawatan luka pad tempat pemasangan PNS. Kiri dan kanan
Observasi vital sign(TD, Nadi, RR, dan Suhu )
Observasi kepatenan pemasangan infus dan jenis cairan serta jumlah/24 jam
Memberikan transfusi 1. 1kantong(250cc)
Observasi vital sign( TD, Nadi, RR dan suhu )
Memberikan obat Ipepsan liquid.sebelum makan 1 sendok makan.
Observasi makan klien


2

2
3


2

2
3

3
2

1

2


1 Selasa

07.30

08.00



08.20

08.30
09.00


10.00

12.00

12.15


13.00 Merapikan tempat tidur dan lingkungan klien.
Memberikan obat Ipepsan sebelum makan (1 sendok makan)
Mengobservasi makan klie
Memberikan obat oral : Kalnex 1 tab( 250 mg), Cefspan ( 50 mg), Kaltropen 1 tab.( 50 mg.
Mengambil pemeriksaan darah ( kreatini dan Ureum )
Memberikan transfusi ke 3
Merawat luka daerah pemasangan PNS kiri dan kanan
Melakukan observasi tanda-tanda infeksi.
Kolaborasi dengan dokter obat Ipepsan ( habis)
Observasi vital sign ( TD. Nadi, RR, dan suhu )
Observasi makan klien, mengingatkan sebelumnya minum Ipepsan 1 sendok makan
Observasi intake dan out put
Rabu

14.00

15.00

17.00
18.00
19.00

Observasi vital sign( TD, Nadi, RR, dan suhu )
Membantu merawat personal hygiene klien, mengenjurkan agar membersihkan kulit , memberi talk dan mengganti pakaian ( mengurangi gatal)
Memberikan obat oral
Melakukan observasi vital sign (TD, Suhu, Nadi dan RR )
Melakukan evalusi ( rencana pindah Bedah D)

EVALUASI
Nama Klien : Tn. A
Ruang : Bedah F
NO. DX HARI/TANGGAL/JAM EVALUASI PERAWAT
1





2




3 Rabu,
1930 S. keluhan cegukan tidak ada
O.: intake , 3200cc, out put 2700cc
Lab. Ureum : 13,3, kreatini, 0,97
A; Resiko kekurangan cairan tidak terjadi
P.: Waspadai terus keseimbangan cairan, teruskan intervensi 1,2,3 dan 4)
S.:Keluhan badan lemas, berkurang, nafsu makan ada, mual-mual hilang, tapi dengan bantuan obat ipepsan
O.: Hb. 10,1mg/dl
A. Resiko terjadi gangguan transport oksigen tidak terjadi
P. : Lanjutkan intervensi 1,2,3 dan 4
S. : Nyeri pada tempat pemasangan PNS, tidak, bengkak, tidak, merah tidak keluar cairan exudat tidak.
O. Tanda-tanda infeksi tidak ada
A. Resiko infeksi tidak terjadi
P.: Lanjutkan intervensi 1,2,3 sampai PNS dilepas.

BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)

Handika Tinarso Subekti
E/KP/VI
04082100

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH
BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)
A. DEFINISI
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
 Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.o Ketidakseimbangan endokrin.
Faktor umur / usia lanjut.
Unknown / tidak diketahui secara pasti.
C. ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:- Panjang 3.4 cm- Lebar 4.4 cm- Tebal 2.6 cm. Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:- Lobus medius 1 buah- Lobus anterior 1 buah- Lobus posterior 1 buah- Lobus lateral 2 buahSelama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
- Kapsul anatomis
- Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
o Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
o Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
o Di sekitar uretra disebut periuretral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

D. PATOFISIOLOGI
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas

E. PATHWAY
Obstruksi uretra Penumpukan urin dlm VU Pembedahan/prostatektomiKompensasi otot destrusorSpasme otot spincterMerangsang nociseptorHipotalamusDekompensasi otot destrusorPotensi urinTek intravesikalRefluk urin ke ginjalTek ureter & ginjal meningkatGagal ginjalRetensi urinPort de entrée mikroorganismekateterisasiLuka insisiResiko disfungsi seksualNyeriResti infeksiResiko kekurangan vol cairanResiko perdarahan: resiko syok hipovolemikHilangnya fungsi tbhPerub pola eliminasiKurang informasi ttg penyakitnyaKurang pengetahuanHyperplasia periuretralUsia lanjutKetidakseimbangan endokrinBPH
F. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:a. Retensi urinb. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencingc. Miksi yang tidak puasd. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)e. Pada malam hari miksi harus mengejanf. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)g. Massa pada abdomen bagian bawahh. Hematuriai. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksik. Kolik renall. Berat badan turunm. AnemiaKadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalaha. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksic. Hernia / hemoroidd. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batue. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis
I. FOKUS PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:
a) Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b) Data Obyektif:
o Terdapat luka insisi
o Takikardi
o Gelisah
o Tekanan darah meningkat
o Ekspresi wajah ketakutan
o Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
a. Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
b. Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:
c. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
e. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
f. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
g. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif. Lakukan perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat
2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria :
Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi :
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairang. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasih. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya
Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal.
Intervensi :
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
f. Impoten terjadi pada prosedur radikal
g. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
h. Adanya kemunduran ejakulasif. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran)
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing
e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria :
Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan
Intervensi :
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
o Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
o Perawatan di rumahc. Adanya tanda-tanda hemoragi


BPH
(benigna prostat hiperplasia)
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Defenisi
BPH (benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembentukan jaringan yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Jinak). Yang sering terjadi pada pria diatas usia 50 tahun.
B. Etiologi
Penyebab dari BPH belum diketahui dengan pasti , namun lebih banyak ditemukan pada orang yang produksi testisnya berlebihan yaitu terjadinya akumulasi dehydroxytosteron (DHT) dan proses penuaan dianggap berperan dalam terjadinya BPH.

Hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah :
1. Adanya prubahan keseimbangan antara hormone testosterone dan estrogen pada usia lanjut.
2. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena kekurangan sel mati.
4. Teori sel system menerangkan bahwa terjadi poliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
C. Patofisiologi
• Proses penuaan dan adanya sirkulasi androgen menimbulkan perkembangan BPH
• Pembesaran jaringan prostat yang berlebihan, merupakan tonjolan jaringan (hyperplasia) yang biasanya terdapat pada lobus lateral dan lobus medialis, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari kelenjar prostat. Pembesaran prostat akan menghambat aliran urine (uretra). Keadaan ini menyebabkan kandung kemih menjadi lebih bekerja keras untuk mengeluarkan urine.
• Tonjolan ini menekan uretra menyerupai celah atau menekan dari bagian tengah uretra, kadang-kadang tonjolan tersebut membentuk kapsul menyerupai polip, yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen uretra, akibatnya buang air kecil tidak lancar, pancaran urine lemah, urine tersisa dalam kandung kemih dan akhirnya akan menimbulkan infeksi aluran kemih.
• Akibat adanya hambatan aliran urin (obstruksi), yang lama dapat menyebabkan tegangan dinding kandung kemih yang tinggi akan diteruskan keseluruh bagian kandung kemih tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tegangan pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urine dari kandung kemih ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus, dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.

Pohon masalah BPH berdasarkan penyimpangan KDM

Perubahan kelenjar prostat berhubungan
Dengan proses ketuaan

Aktivitas seksual menurun Nyeri

Produksi kelenjar prostat meningkat Reseptor nyeri terangsang

Hiperplasia Prostat Regangan VU meningkat

Jaringan uretra tertekan Distensi VU

Obstruksi lumen pada uretra Volume residu meningkat Statis urin

Aliran urine keluar terhambat Akumulasi urin dalam VU meningkat

Retensi urin

D. Gambaran Klinis
1. Pada awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat, tidak ada gejala, sebab tekanan kandung kemih dapat mengalami kompensasi untuk mengatasi retensi uretra.
2. Gejala yang disebabkan oleh aliran urine tersumbat ( Obstruksi) meliputi :
a. Hesitansi dan mengejan saat berkemih
b. Penurunan ukuran dan kekuatan aliran urine
c. Adanya perasaan berkemih tidak tuntas
d. Retensi urin
3. Gejala karena metastasis meliputi :
a. Nyeri pada area lumbosakral yang menyebar ke panggul dan turun ke kaki (dari metastatis tulang)
b. Ketidaknyamanan perineal dan rectal
c. Anemia, penurunan berat badan, kelemahan, mual, oliguria (karena uremia)
4. Pemeriksaan rectal untuk mendekteai nodul-nodul pada prostat.
5. Stadium BPH meliputi
a. Stadium I :
Ada obstruksi, tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II :
• Ada retensio urine, tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kurang lebih 50-150- cc
• Ada rasa tidak enak pada saat buang air kecil /disuria
• Nokturia
c. Stadium III :
Setiap buang air kecil urine selalu tersisa 150 cc atau lebih
d. Stadium IV :
Retensio urine total, buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secara periodic (over flow incontinentia)
E. Pemeriksaan diagnostic
1. DRE ( digital rectal examination) Test ini biasanya merupakan test pertama yang dilakukan dengan memasukkan jari ke rectum(rectal toucher) dan merasakan Prostat dekat rectum. Test ini memberikan opini bagi pemeriksa tentang ukuran dan kondisi Prostat.
2. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Prostate-Specific Antigen (PSA) Blood Test
Test ini untuk mendeteksi ada tidaknya kanker BPH.
b. Urin analisa : Hematuria dan Infeksi
c. BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal
3. Pemeriksaan Radiologi :
a. Cystouretroscopy : Test ini untuk mengamati uretra, kandung kemih dan ukuran prostat.
b. USG.

F. Penatalaksanaan
1. Indewiling Cateter
2. Dilatasi balon pada uretra prostat dalam waktu singkat dapat menghilangkan gejala.
3. Bedah laser
4. Pengobatan dengan menggunakan hormon
5. Bedah TURP atau open prostat.














BAB II
PROSES KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Pengumpulan data
Klien mengeluh setiap buang air kecil sedikit dan hanya menetes.
Klien mengeluh sakit pada saat berkemih
Klien tampak meringis.
Distensi kandung kemih
KLien mengeluh sakit pada bagian perut bagian bawah
Klien mengeluh tidak puas pada saat buang air kecil
Urine sedikit.
Urine Nampak keluar menetes.

b. Klasifikasi data
Data Obyektif Data Subyektif
Klien tampak mringis
Distensi kandung kemih
Urine sedikit
Kien mengeluh setiap buang air kecil sedikit dan hanya menetes
Urine tampak keluar menetes
KLien mengeluh sakit pada saat berkemih
KLien mengeluh sakit pada bagian perut bagian bawah
Klien mengeluh tidak puas pada saat buang air kecil

c. Analisa data
Symptom Etiologi Problem
Ds :
KLien mengeluh setiap buang air kecil sedikit dan hanya menetes
Klien mengeluh tidak puas pada saat buang air kecil
Do :
Urine sedikit
Urine tampak keluar menetes. Jaringan uretra tertekan

Obstruksi lumen pada uretra

Aliran urine keluar terhambat

Retensio urin Retensio urin
Ds :
Klien mengeluh sakit pada saat berkemih
KLien mengeluh sakit pada bagian perut bagian bawah

Do :
Klien tampak meringis Volume residu meningkat

Distensi VU

Regangan VU meningkat

Reseptor nyeri terangsang Nyeri akut
Ds :
-
Do :
- Akumulasi urin dalam VU meningkat

Volume residu meningkat

Statis urine

Menjadi media berkembangnya kuman Resiko terhadap infeksi

B. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pola eliminasi urin : Retensio urin berhubungan dengan obstruksi mekanik pada uretra akibat pembesaran kelenjar prostat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan regangan kandung kemih akibat obstruksi aliran urine.
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter

C. Intervensi keperawatan
Gangguan pola eliminasi urin : Retensio urin berhubungan dengan obstruksi mekanik pada uretra akibat pembesaran kelenjar prostat ditandai dengan :
Berkemih tidak lancar serta urine menetes
Distensi kandung kemih
Rasa sakit bila berkemih
Tujuan : Klien dapat berkemih secara normal dengan criteria :
Rasa puas saat berkemih
Tidak mengalami rasa sakit bila berkemih
Tidak ada distensi kandung kemih
Tindakan keperawatan :
1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam
Rasional : Meminimalkan retensi urin berlebihan pada kandun kemih
2. Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
3. Awasi dan catat waktu dan jam tiap berkemih, perhatikan penurunan pengeluaran urine dan perubahan berat jenis urin.
Rasional : Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan bagian atas, yang dapat mempengaruhi ginjal.
4. Perkusi area suprapubik untuk menentukan adanya distensi
Rasional : Distensi abdomen dapat dirasakan didaerah suprapubik.
5. Anjurkan untuk minum 3000 ml/hari
Rasional : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri.
6. Awasi tanda-tanda vital dengan ketat, observasi hipertensi, edema, perubahan mental
Rasional : Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksis dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
7. Lakukan kateterisasi dan perawatan perineal
Rasional : Menurunkan resiko infeksi asenden
8. Berikan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, meningkatkan upaya berkemih.
9. Kolaborasi tim medis pemberian :
Antispasmodik (untuk menghilangkan spasme kandung kemih)
Antibiotik
Fenoksibenzamin (merelaksasikan otot poros prostat dan menurunkan tahanan terhadap urine.
Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan regangan kandung kemih akibat obstruksi aliran urine.Ditandai dengan :
Keluhan Nyeri
Ekspresi wajah meringis
Tujuan : Klien menunjukan nyerinya berkurang atau hilang
Tindakan keperawatan :
1. Observasi tingkat nyeri dengan skala 0 – 10
Rasional : membantu informasi dalam keefektifan intervensi
2. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal retetnsi urin akut, namun ambulasi napas dalam dapat memperbaiki pola berkemih normal.
3. Anjurkan menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.
Rasional : Meningkkatkan relaksasi otot
4. Kolaborasi dalam pemberian :
Obat analgetik bahkan narkotik misalnya pethidin untuk menghilangkan nyeri berat dan relaksasi mental dan fisik.
Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter.
Intervensi keperawatan :
1. Kaji aliran urine melalui kateter.
Rasional : Ketidak lancaran aliran urine melalui kateter sebagai akibat adanya sumbatan
2. Lakukan irigasi kandung kemih melalui kateter
Rasional : Irigasi akan mempertahankan aliran urin lanccar dan membersihkan kandung kemih dari kuman.
3. Berikan informasi kepada klien tentang pemasangan kateter
Rasional : Kurangnya pengetahuan klien tentang tindakan yang kan dilakukan akan memungkinkan klien menarik atau memegang kateter.
4. Pertahankan tehnik aseptic terutama saat perawatan kateter.
Rasional : Untuk mencegah terkontaminasi dengan mikroorganisme
5. Anjurkan klien selama pemasangan kateter harus banyak minum
Rasional : Untuk mempertahankan status hidrasi klien.

DAFTAR PUSTAKA


www. Catatan perawat.Byethost15.com
Corwin Elizabet J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC akarta
Smeltzer Suzane C & Bare Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Bruner & Sudarth Ed. 8 Vol. 1. : EGC Jakarta

APENDICITIS

ERLINA PERMATA SARI
04.08.2096
E/KP/VI


APENDISITIS

TINJAUAN TEORI
a.Definisi
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
Apendiks vermiformis mungkin memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2000).
Appendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal ( Brunner dan Sudarth, 2002 hal 1097 ).
Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendiks yang berbentuk cacing, yang berlokasi dekat katup ileocecal ( long, Barbara C, 1996 hal 228 ).
Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. (Arif Mansjoer ddk 2000 hal 307 ).
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
• Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
• Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

b. Epidemiologi
Menurut Ahmadsyah dan Kuntoro tahun 1995, apendiksitis merupakan kasus laporotomi tersering pada anak dan juga pada orang. Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai berumur 1-2 tahun jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).
c. Anatomi Fisiologi
Anatomi
Apendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum, appendix berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva ileocaecal. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Appendix merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-15 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung. Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan. Macam-macam letak appendix : retrocaecalis, retroilealis, pelvicum, postcaecalis, dan descendentis.
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut.
Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GULT yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendix adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.
d. Etiologi
Appendicitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi Yaitu :
a. Factor yang tersering adalah obtruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
Adanya faekolit dalam lumen appendiks
Adanya benda asing seperti biji – bijian
Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
c. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk appendiks
1. Appendik yang terlalu panjang
2. Messo appendiks yang pendek
3. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4. Kelainan katup di pangkal appendiks.
e. Manifestasi Klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : anoreksia, malaise, mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
f. Patofisiologi
Appendiksitis diakibatkan oleh beberapa factor, yaitu; hyperplasia folikel limfoid, fecolit, cacing, striktur, cancer menyebabkan obstruksi pada appendik sehingga terjadi bendungan dari produksi sekresi. Bendungan itu mengakibatkan dinding appendik tertekan sehingga aliran limfe terganggu. Karena aliran limfe mengalami gangguan maka terjadi edema pada dinding appendik, sehingga merangsang tunika serosa peritoneal visceral. Rangsangan pada tunika membuat nervur X juga terangsang sehingga gaster menjadi hipersekresi dan pasien menjadi mual dan muntah.
Selain itu, bendungan mukus juga dapat menyebabkan infeksi bakteri dan ulserasi dan berisi nanah. Sehingga terjadi gangguan pada aliran vena dan arteri. Jika terjadi gangguan vena akan menyebabkan peradangan pada peritoneum setempat. Dan mengakibatkan nyeri pada perut kanan bawah. Sedangkan jika terjadi gangguan aliran pada arteri menyebabkan suplai oksigen dalam appendik menurun, dan terjadi gangguan perfusi pada appendik. Appendik gangrenous menyebabkan usus mengelilingi appendik membentuk suatu massa sehingga appendik menjadi infiltrate. Jika appendik gangrenosa pecah akan terjadi perforasi pada appendik sehingga terjadi peritonitis.
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan Radiologi,
• foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
• USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease, diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
h. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
• nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
• Suhu tubuh naik tinggi sekali.
• Nadi semakin cepat.
• Defance Muskular yang menyeluruh
• Bising usus berkurang
• Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
i. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Ada beberapa cara penatalaksanaan pada pasien dengan apendiksitis, berdasarkan dengan proses radang yang terjadi, taitu:
1. Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif dengan ditandai dengan:
a. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
b. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis
c. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.
2. 2. Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan:
a. Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih.
b. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi.
c. Pemeriksaan lokal abdomen tanang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
d. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Tindakan yang dilakukan sebainya konservati dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.
j. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas klien: Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register. Identitas penanggung Riwayat kesehatan sekarang.
2. Keluhan utama: Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
3. Riwayat kesehatan masa lalu: Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang.
4. Pemeriksaan fisik Keadaan umum: Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
5. Aktivitas/istirahat : Malaise.
6. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
Keamanan Demam, biasanya rendah.
7. Data psikologis Klien nampak gelisah.
Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang.
k. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
3. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan.
l. Rencana Keperawatan
1. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
 Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan
 Kriteria Hasil : Klien tidak diare. Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah.
 Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.
2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
 Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi
 Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas, kemerahan).
 Intervensi:
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar. Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan ruptura apendiks.
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
3. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
 Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi
 Kriteria Hasil : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
 Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui gejala pasti).
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
 Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya.
 Kriteria Hasil : wajah klien sudah tidak tampak murung lagi, klien tidak tampak gelisah.
 Intervensi:
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
2) Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
3) Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses penyembuhan.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
 Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
 Kriteria Hasil: klien sudah nafsu makan, berat badan kembali normal, tidak mual dan muntah lagi.
 Intervensi:
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
4) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
7) Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan.
 Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri.
 Kriteria Hasil : kuku, kulit kepala dan wajah klien tidak tampak kotor lagi.
 Intervensi :
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman
3) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
4) Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan
5) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

CHOLELITHIASIS

RAHMAWATI
04.08.2124
E/KP/VI
CHOLELITHIASIS
( BATU EMPEDU )

I. Pengertian :
a. Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus Koledocus ).
b. Batu Empedu(kolelitiasis) : adanya batu yang terdapat pada kandung empedu.
c. Radang empedu (Kolesistitis) : adanya radang pada kandung empedu.
d. Radang saluran empedu (Kolangitis) : adanya radang pada saluran empedu.

II. Penyebab:
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi empedu.
Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
• Infeksi kandung empedu
• Usia yang bertambah
• Obesitas
• Wanita
• Kurang makan sayur
• Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol
2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;
• Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi
• Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi
3. Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

III. Pathofisiologi :
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
• Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
• Statis empedu
• Infeksi kandung empedu
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu .
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu.

IV. Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik.

Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.

V. Gejala Klinis
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

GEJALA AKUT GEJALA KRONIS
TANDA :
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas
3. Kandung empedu membesar dan nyeri
4. Ikterus ringan TANDA:
1. Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen
2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas
GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang
Menetap
2. Mual dan muntah
3. Febris (38,5C) GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula kanan
2. Nausea dan muntah
3. Intoleransi dengan makanan berlemak
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)

VI. Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium :
1. Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).
2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3. Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).
5. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur diagnostik)
6. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.
7. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
8. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim billiar.
9. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu, obstruksi/obstruksi joundice.
10. Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran pada saluran atau pembesaran pada gallblader.


Daftar Pustaka :

1. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
2. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
3. Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-536.
4. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
5. Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 - 251.
6. Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill Livingstone, Melborne : 74 - 76.

VII. Pengkajian
1. Aktivitas dan istirahat:
• subyektif : kelemahan
• Obyektif : kelelahan
2. Sirkulasi :
• Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3. Eliminasi :
• Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
• Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat .
4. Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
• Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
• Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
• Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
• Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
Obyektif :
• Kegemukan.
• Kehilangan berat badan (kurus).
5. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif :
• Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
• Nyeri apigastrium setelah makan.
• Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
6. Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
7. Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).
8. Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

Prioritas Perawatan :
a. Meningkatkan fungsi pernafasan.
b. Mencegah komplikasi.
c. Memberi informasi/pengetahuan tentang penyakit, prosedur, prognosa dan pengobatan

Tujuan Asuhan Perawatan :
a. Ventilasi/oksigenasi yang adekwat.
b. Mencegah/mengurangi komplikasi.
c. Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan pengobatan

Diagnosa Perawatan:
A. Pola nafas tidak efektif sehubungan dengan nyeri, kerusakan otot, kelemahan/ kelelahan, ditandai dengan :
• Takipneu
• Perubahan pernafasan
• Penurunan vital kapasitas.
• Pernafasan tambahan
• Batuk terus menerus

B. Potensial Kekurangan cairan sehubungan dengan :
• Kehilangan cairan dari nasogastrik.
• Muntah.
• Pembatasan intake
• Gangguan koagulasi, contoh : protrombon menurun, waktu beku lama.

C. Penurunan integritas kulit/jaringan sehubungan dengan
• Pemasanagan drainase T Tube.
• Perubahan metabolisme.
• Pengaruh bahan kimia (empedu)
ditandai dengan :
• adanya gangguan kulit.

D. Kurangnya pengetahuan tentang prognosa dan kebutuhan pengobatan, sehubugan dengan :
• Menanyakan kembali tentang imformasi.
• Mis Interpretasi imformasi.
• Belum/tidak kenal dengan sumber imformasi.
ditandai : . pernyataan yang salah.
. permintaan terhadap informasi.
. Tidak mengikuti instruksi.

DAFTAR PUSTAKA :

7. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
8. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
9. Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-536.
10. D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
11. Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 - 251.
12. Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill Livingstone, Melborne : 74 - 76.

Jumat, 22 April 2011

CEDERA KEPALA

Anindya Astuti
E-KP-VI
04.08.2084

CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN

Apa itu cedera kepala??? Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001). Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu mendapatkan penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan.

B. KLASIFIKASI

Berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera :
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater
a.Trauma tumpul : - kecepatan tinggi ( tabrakan motor dan mobil )
- kecepatan rendah ( jatuh/dipukul )
b.Trauma tembus ; luka tembus dan cidera tembus lainnya.
2. Keparahan cedera
a. Ringan : GCS 14–15
b. Sedang : GCS 9-13
c. Berat : GCS 3–8
3. Morfologi
a. Fraktur tengkorak
- Kranium: garis / lintang, depresi / non depresi, terbuka / tertutup.
- Basis kranii: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan N VII.
b. Lesi intrakranial
- Fokal : epidural, sub dural, intra serebral.
- Difus : komosio ringan, komosio klasik, cedera aksonal difus.

C. TANDA DAN GEJALA


Secara umum tanda dan gejala cedera kepala adalah :
1. Gangguan kesadaran
2. Konvulsi
3. Abnormalitas pupil
4. Defisit neurologis
5. Disfungsi sensorik – motorik
6. Kejang
7. Sakit kepala
8. Hipovolemik Syok.
9. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
10. Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi tidak abnormal.
11. Respon pupil negatif.

D. PATOFISIOLOGI

Edema otak barangkali merupakan penyebab yang paling lazim dari peningkatan intrakranial dan memiliki daya penyebab antara lain peningkatan cairan intra sel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemi serebral, meningitis dan cedera.
Tekanan intrakranial (TIK) pada umumnya meningkat secara berangsur-angsur setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 – 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan TIK sampai 33 mmHg (450 mmH2O) mengurangi aliran darah otak (ADO) secara bermakna, iskemi yang timbul merangsang vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi dan pernafasan menjadi lebih lambat.
Tekanan darah sistemik akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik dimana TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan akibat kematian otak. Pada umumnya kejadian ini didahului oleh penurunan yang cepat dari tekanan daraaaah arteri.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio akan merusak sawar darah otak (SDO) disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan SDO lebih lanjut.
Siklus ini akan terus berlanjut sehingga terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi.

E. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik dari adanya peningkatan tekanan intra cranial adalah banyak dan bervariasi serta dapat tidak jelas.
1. Perubahan tingkat kesadaran (paling sensitive diantara tanda peningkatan TIK)
2. Trias klasik :
-Nyeri kepala karena regangan duramater dan pembuluh darah.
-Papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptikus
-Muntah, seringkali proyektil.
3. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
4. Hipertermia
5. perubahan motorik dan sensorik
6. Perubahan bicara
7. Kejang

F. PENATALAKSANAAN

Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gig palsu, pertahan kan tulang servikal segaris dengan badan, pasang gudel bila dapat ditoleransi. Jika cedera mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintuasi.
2. Menilai pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas dengan spontan atau tidak, jika tidak, beri O2 melalui masker oksigen. Jika bernafas spontan selidiki cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks.
3. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentoleransi hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, glukosa, AGD. Berikan larutan koloid, sedangkan larutan kristaloid (dektrose atau dektrose dalam saline) menimbulkan eksaserbasi edema serebri pasca cedera kepala.
4. Obati kejang
Kejng konvulsiv dapat terjad setelah cedera kepala dan harus diobati.
5. Menilai tingkat keparahan
a.Cedera Kepala Ringan (kelompok resiko ringan)
- Skor GCS 14 – 15
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
- Pasien dpat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
- Tidak ada criteria cedera sedang – berat.
b.Cedera kepala Sedang (kelompok resiko sedang)
- Skor GCS 9 – 13
- Konkusi
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanium, otorea)
- Kejang
c.Cedera Kapala Berat (kelompok resiko berat)
- Skor GCS 3 – 8 (koma)
- Penurunan kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIK

Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan :
1. Riwayat trauma
- Sebab trauma
- Adanya kelainan neurologik awal ; kejang, hilang kesadaran, kelemahan motorik dan gangguan bicara
- Derajat ketidak-sadaran , amnesia
- Nyeri kepala, mual dan muntah
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda-tanda vital
- Tingkat kesadaran cedera luar yang terlihat ; cedera kulit kepala, perdarahan hidung, mulut, telinga, dan hematoperiorbital
- Tanda-tanda neurologis foko,mkal ; ukuran pupil, gerakan mata, aktivitas motorik.
- Reflek tendon
- Sistem sensorik perlu diperiksa, jika pasien sadar.
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium rutin
- Foto kepala AP lateral
- Foto servikal
- CT Scan / MRI kepala
- Arteriografi bila perlu

ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
* Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
* Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
* Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
* Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
* Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
* Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

Pemeriksaan Diagnostik:

* CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
* Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
* X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
* Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
* Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurmuskuler
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme, restriksi cairan dan intake tidak adekuat.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.
6. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan.
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan terus menerus.
8. Kerusakan integritas jaringan (mukosa, kulit, kornea) berhubungan dengan pergesekan secara mekanik.


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan denga kerusakan neuromuskuler
Intervensi:
1. Airway management :
a.Buka jalan nafas dengan tehnik Jaw Thrust sejauh memungkinkan
b.Posisikan klien pada posisi yang memungkinkan ventilasi maksimal
c.Lakukan suction dan anjurkan batuk untuk mengeluarkan secret
d.Ajarkan tehnik nafas dalam, lambat dan batuk efektif.
e.Berikan bronkodilator bila dibutuhkan.
f.Monitor status oksigenasi dan respirasi.
2. Airway suctioning :
a.Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
b.Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
c.Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
d.Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.


2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,obstruksi tracheobrokhial.
Intervensi:
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,irama dan bunyi nafas, adanya cianosis.
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler (30 )
c. Berikan terapi oksigen (2-4 L/m)
d. Lakukan pengisapan lender dengan hati-hati(tekanan,cara dan lama) selama 10-15 detik, catat sifat, warna dan bau secret.
e. Berikan posisi semi prone lateral/miring bila tidak ada kejang setelah 4 jam pertama, rubah posisi miring atau terlentang tiap 2 jam.
f. Apabila klien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam
g. Kolaborasi untuk pemeriksaan analisa gas darah
h. Kolaborasi pemasangan endotrakial tube kalau perlu
i. Monitor pola pernafasan tiap 2-4 jam.

3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme, restriksi cairan dan intake tidak adekuat.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan cara pengeluaran secret.
b. Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus (n : 5-35 x/m)
c. Timbanga berat badan, berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering baikmelalui NGT maupun oral.
d. Tinggikan kepala klien dari badan ketika makan dan buat posisi miring dan netral / lurus setelah makan.
e. Berikan nutrisi melalui parenteral (IVFT) bila perlu.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan penurunan kekuatan dan ketahanan,kerusakan neuromuskuler.
Intervensi:
a. Koreksi tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0-4:
0 : klien tidak tergantung pada orang lain
1 : klien butuh sedikit bantuan
2 : klien butuh bantuan sederhana
3 : klien butuh bantuan banyak
4 : klien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
b. Atur posisi klien dan ubahlah setiap 2-4 jam sekali
c. Bantu klien melakukan gerakan-gerakan sendi secara pasif bila kesadaran menurun dan secara aktif bila klien kooperatif.
d. Observasi atau kaji terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinsai dan gerakan tonus.
e. Anjurkan keluarga klien untuk melatih dan memberi motivasi.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi).
g. Buat posisi seluruh dalam letak anatomis/nyaman dengan memberi penyangga pada lekukan-lekukan sendi, telapak tangan dan kaki.
h. Lakukan massage perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenun bersih dan kering
i. Lakukan perawatan mata dengan memberikan cairan air mata buatan dan tutup mata dengan kassa steril lembab sesuai indikasi
j. Bantu klien dalam memenuhi ADL, bila kesadaran belum pulih kembali.
k. Observasi BAK dan Bantu BAB secara teratur, kolaborasi dengan dokter pemberian supositoria.
l. Berikan motivasi dan latihan pada klien dalam memenuhi kebutuhan ADL sesuai dengan kebutuhan pada saat rehabilitasi, penyebaran tingkat kegawatan dan keluhan-keluhan klien.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.
Intervensi:
1. Infection Control
a.Lakukan teknik isolasi bila perlu
b.Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
c.Berikan higiene yang baik
d.Ajarkan pengunjung dan keluarga cara mencuci tangan yang benar
e.Tingkatkan nutrisi, cairan dan istirahat
f.Gunakan baju khusus
2. Infection Protection
a.Monitor tanda vital tiap 6 jam
b.Monitor tanda infeksi lokal dan sistemik
c.Amati faktor yang menuingkatkan infeksi
3. Environmental management
a.Jaga kebersihan ruangan dan tempat tidur
b.Batasi pengunjung, hindarkan klien dari kontak dengan penderita infeksius
4. Health Education
a.Jelaskan pada keluarga tentang tanda infeksi
b.Jelaskan pada keluarga tentang kondisi anak yang memungkinkan resiko terjadi infeksi
5. Medication Administration
a.Kolaborasi pemberian antibiotik bila perlu
b.Pantau efek terapi tersebut

6. Kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan produksi antidiuretik hormonADH akibat terfiksasinya hipotalamus

Intervensi:
a.Monitor asupan keluaran selama 8 jam sekali dan timbang berat badan setiap hari bila dapat dilakukan.
b.Berikan cairan setiap hari sesuai kebutuhan tubuh
c.Hitung balance cairan tiap 4 jam
d.Pasang dower cateter dan monitor warna dan bau serta aliran urine
e.Kolaborasi dengan tim analisis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh

7. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Intervensi:
1. Manajemen nyeri :
a.Gunakan skala nyeri untuk mengidentifikasi intensitas nyeri.
b.Bersama klien, mengidentifikasi posisi dan hal-hal yang dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan
c.Identifikasi pengalaman klien dalam mengurangi nyeri yang serupa dengan saat ini
d.Ajarkan tehnik mengurangi nyeri secara non farmakologis ; tehnik distraksi, Guided imagery
2. Medication administration
a.Berikan analgetik sesuai dengan program terapi, monitor tanda-tanda efek samping pemberian analgetik.
b.Bantu pasien dalam meminum obat.
c.Berikan obat menggunakan tehnik dan rute yang benar.

8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan terus menerus.
Intervensi:
1. Pressure management :
a.Monitor kulit dari dari area kemerahan.
b.Monitor mobilitas dan aktifitas klien
c.Monitor daerah yang mengalami penekanan
d.Perubahan posisi tiap 2 jam untuk menghindari penekanan terus-menerus jika memungkinkan
2. Pressure ulcer prevention:
a.Inspeksi kulit pada bagian bony prominence
b.Jaga agar linen tetap kering
c.Gunakan pelembab bila kulit kering

Daftar Pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press